Prolog: Desa yang Terlupakan oleh Waktu
Desa Wingitdoku terletak di antara perbukitan yang selalu diselimuti kabut tebal. Penduduknya hidup dalam kesederhanaan, tetapi di balik itu, tersimpan legenda yang membuat siapa pun merinding. Desa ini dikenal dengan kisah-kisah mistisnya, terutama tentang seorang penari yang muncul setiap malam Jumat Kliwon di tengah lapangan kosong dekat hutan larangan.
Namanya Sang Hyang Tari, seorang penari yang konon hilang ratusan tahun lalu setelah melakukan tarian terlarang untuk memanggil roh leluhur. Sejak itu, arwahnya dikatakan masih menari, mencari pengganti yang bersedia meneruskan ritualnya.
Bab 1: Kedatangan Rara
Rara, seorang penari tradisional dari kota, datang ke Desa Wingitdoku untuk mencari inspirasi tarian baru. Ia mendengar cerita tentang Sang Hyang Tari dan penasaran dengan misterinya.
“Aku harus melihat sendiri,” bisiknya saat melewati jalan setapak menuju lapangan tua itu.
Malam itu adalah Jumat Kliwon. Angin berhembus dingin, dan bulan tertutup awan gelap. Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara gamelan yang samar. Rara mengikuti suara itu hingga sampai di tengah lapangan.
Di sana, seorang wanita dengan kemben merah dan sanggul tinggi sedang menari dengan gerakan memesona. Tubuhnya meliuk-liuk seperti ular, tetapi matanya kosong—seperti tak bernyawa.
Rara terpaku. Ia tidak menyadari bahwa kakinya mulai bergerak mengikuti irama, seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat.
Bab 2: Tarian yang Menjerat Jiwa Desa Wingitdoku
Semakin lama Rara menari, semakin kuat ia merasakan sesuatu yang aneh. Tangannya bergerak sendiri, lehernya memutar dengan tidak wajar, dan suara bisikan mulai terdengar di telinganya:
“Ikuti aku… jadilah seperti aku…”
Tiba-tiba, bayangan di sekelilingnya mulai berubah. Lapangan yang tadinya kosong kini dipenuhi oleh sosok-sosok tinggi dengan wajah pucat dan mata hitam. Mereka bertepuk tangan, mengikuti irama tarian Rara.
Ia ingin berhenti, tetapi tubuhnya tidak lagi bisa dikendalikan.
Bab 3: Rahasia di Balik Topeng
Seorang nenek tua, Mbah Darmi, melihat Rara dari kejauhan. Dengan cepat, ia melemparkan garam ke arah Rara sambil berteriak:
“Jangan ikuti tarinya! Itu bukan tarian manusia!”
Seketika, gamelan berhenti. Wanita penari itu berbalik, wajahnya perlahan berubah—kulitnya mengelupas, memperlihatkan tengkorak di baliknya.
“Kau mengganggu ritualku,” suaranya mendesis.
Rara jatuh pingsan.
Bab 4: Penyelesaian yang Tak Terduga
Ketika Rara sadar, ia sudah berada di rumah Mbah Darmi.
“Kau hampir jadi penggantinya,” kata Mbah Darmi. Sang Hyang Tari mencari penari baru setiap 10 tahun sekali untuk menjaga agar arwahnya tetap hidup.
“Tapi kenapa aku?” tanya Rara gemetar.
“Karena kau penari berbakat, dan roh itu menyukai jiwa-jiwa yang penuh gairah.”
Mbah Darmi memberinya jimat dan melarangnya kembali ke lapangan itu.
Epilog: Tarian yang Tak Pernah Berakhir Desa Wingitdoku
Rara pergi dari Desa Wingitdoku, tetapi hingga kini, di malam-malam sepi, kadang masih terdengar suara gamelan dari lapangan itu.
Dan jika kau berani mendekat, mungkin kau akan melihat bayangan Rara—kini dengan kemben merah—menari bersama Sang Hyang Tari.
“Masih ada satu tempat kosong… mau bergabung?”