Di kaki Gunung Soputan, tersembunyi sebuah desa kecil bernama Kodompoan. Tak banyak yang tahu keberadaan desa ini. Letaknya agak terpencil, jauh dari jalan utama dan nyaris tak terdeteksi di aplikasi peta digital. Namun, bagi mereka yang pernah singgah atau bahkan hanya sekadar mendengar cerita dari mulut ke mulut, nama Kodompoan bukan sekadar titik geografis—ia adalah gerbang menuju kisah-kisah yang tak bisa dijelaskan logika.
Desa ini bukan desa mati. Ada kehidupan di sana: beberapa rumah kayu beratap seng, petak-petak sawah, dan kabut yang tak pernah benar-benar menghilang meski matahari bersinar terik. Tapi suasananya… lain. Terlalu tenang, terlalu sepi, dan udara di sana terasa berat, seperti ada sesuatu yang tak terlihat tapi sedang memperhatikan.
Cerita dari Orang Dalam
Saya mendapat kesempatan berbincang dengan Pak Lando, pria berusia 60-an yang mengaku lahir dan besar di Kodompoan. Ia sudah tinggal di Manado sejak muda, tapi sesekali pulang menjenguk adik perempuannya yang masih tinggal di desa.
“Kalau bukan karena darah dan tanah, mungkin saya nggak akan kembali ke sana,” katanya sambil menyesap kopi hitam. “Desa itu… ada yang jaga.”
Awalnya saya pikir itu hanya metafora—bahwa desa dijaga secara adat atau spiritual. Tapi makin lama kami bicara, makin terasa kalau maksudnya bukan sekadar adat. Ada sosok, atau mungkin lebih dari satu, yang menjaga desa Kodompoan dengan cara mereka sendiri.
Malam Tanpa Angin
Salah satu cerita yang paling banyak beredar adalah tentang malam tanpa angin. Ini adalah istilah yang hanya digunakan warga Kodompoan, merujuk pada malam-malam tertentu ketika udara terasa sangat diam. Tidak ada suara jangkrik, daun tidak bergerak, bahkan anjing pun enggan menggonggong.
Pada malam seperti itu, orang-orang dilarang keluar rumah, apapun alasannya. Lampu harus dimatikan, dan semua aktivitas dihentikan. Yang boleh dilakukan hanya duduk diam dan berdoa dalam hati.
“Kalau kamu dengar suara langkah di luar rumah, abaikan. Jangan tengok, jangan bersuara. Itu bukan manusia,” ujar Pak Lando dengan nada datar.
Ada satu kisah yang membuat saya merinding: tentang seorang pemuda pendatang yang tidak percaya larangan itu. Ia keluar rumah pada malam tanpa angin, hanya untuk membuktikan bahwa semua itu tak lebih dari mitos. Keesokan paginya, ia ditemukan duduk di bawah pohon beringin, tubuhnya dingin dan matanya kosong menatap langit. Ia masih hidup, tapi tidak pernah berbicara lagi.
Pohon Beringin Tua
Di tengah desa, ada satu pohon beringin besar yang dikeramatkan. Warga menyebutnya “Indo Doti” atau “Ibu Penunggu”. Tak ada yang berani menyentuh atau bahkan menyapu dedaunan di bawah pohon itu. Anehnya, meskipun musim hujan deras, tak pernah ada banjir atau tanah longsor di sekitar sana. Konon, pohon itu bukan sekadar tumbuhan tua—ia adalah tempat berdiamnya sesuatu yang jauh lebih tua dari desa itu sendiri.
Anak-anak dilarang bermain di dekat pohon beringin, terutama saat senja. Seorang ibu pernah mengaku melihat anaknya bicara sendiri di bawah pohon itu. Saat ditanya, si anak menjawab sedang bermain dengan “Oma Putih”—sosok perempuan tua berambut panjang dan bergaun lusuh. Tak ada orang tua berambut putih di desa itu.
Gunung yang Bernafas
Letak desa yang berdekatan dengan Gunung Soputan juga membawa aura mistis tersendiri. Gunung itu dikenal aktif, tapi warga Kodompoan percaya bahwa gemuruhnya bukan hanya aktivitas vulkanik biasa. Mereka menyebutnya “nafas leluhur”.
Setiap kali gunung “bernafas”—mengeluarkan bunyi seperti dengusan panjang dari perut bumi—warga akan membakar dupa dan sesajen kecil di depan rumah masing-masing. Ini sebagai bentuk penghormatan, agar gunung tidak “marah”.
Yang membuat bulu kuduk meremang adalah kesaksian warga tentang “bayangan raksasa” yang muncul sesekali di lereng gunung saat malam berkabut. Bentuknya samar, tapi ukurannya sangat besar dan berjalan perlahan dari hutan ke arah kaki gunung. Setiap kali bayangan itu muncul, dalam beberapa hari akan ada kejadian aneh: sapi yang hilang, anak kecil demam tinggi tanpa sebab, atau bahkan pohon tumbang tanpa angin.
Tradisi Sunyi
Ada satu tradisi unik di Kodompoan yang tidak ditemukan di desa-desa lain: malam sunyi. Ini adalah malam yang dilakukan satu bulan sekali, di mana seluruh warga dilarang bicara selama enam jam penuh, dari pukul 11 malam sampai pukul 5 pagi. Tidak boleh ada suara. Bahkan anak bayi pun akan dibungkus lebih tebal agar tak menangis.
Alasan tradisi ini? Menurut para tetua, malam itu adalah waktu di mana “yang lama” kembali menengok desa. Suara manusia bisa mengganggu mereka, bahkan membuat mereka marah.
Jika seseorang melanggar tradisi sunyi, biasanya akan ada “peringatan”. Seperti suara mengetuk pintu padahal tak ada siapa-siapa di luar, bayangan di sudut kamar, atau mimpi buruk yang berulang selama tiga malam berturut-turut.
Kodompoan, Desa yang Tak Bisa Ditinggalkan
Menariknya, banyak warga asli Kodompoan yang mengaku tidak bisa benar-benar meninggalkan desa. Bahkan jika mereka pindah ke kota, mereka selalu merasa dipanggil pulang. Ada perasaan rindu yang aneh—bukan rindu kampung halaman biasa, tapi seperti ada magnet tak terlihat yang menarik mereka kembali.
Beberapa orang yang mencoba menetap di luar Kodompoan mengaku mengalami kejadian ganjil: sering melihat penampakan, mendengar suara-suara dari sudut ruangan, atau merasa seperti diawasi saat tidur. Salah satu ibu rumah tangga yang pindah ke Bitung berkata, “Saya bisa tinggal di sini, tapi hati saya seperti tertinggal. Dan kadang saya dengar suara desa saya saat malam. Suara lonceng kecil dari pohon beringin.”